Saturday, September 30, 2006

Gue nyerah

Minggu, 17 September… bikin revisi tugas akhir di kampus. Bareng teman-teman sekelompok, feels like hell beberapa kata makian keluar. Gue yang udah bener-bener pupus banget semangat, hubungan sosial udah terisolasi sejak kasus tukang kambing yang cari gara-gara, termasuk pacar yang menjauh berkat hilangnya kepercayaan yang dipicu tukang kambing dan cewe yang jualan otak di pantat.

Ditambah dengan perasaan ditolaknya gue oleh orang-orang yang cukup gue harapkan dukungannya. Akhirnya gue telpon seorang residivis dari penjara tempat gue pernah berkunjung dahulu. Sinyal begitu buruknya yang mengakibatkan koneksi terputus beberapa kali. Gue ga pernah punya niat jahat sama orang lain, satu-satunya alesan kenapa gue telpon si residivis adalah karena gue pengen dikenalin sama orang yang pernah bunuh orang, dan berharap orang itu mau gue bayar untuk ngebunuh gue.

Namun untuk menyampaikan maksud tersebut begitu susah karena walaupun beberapa kali dia menelpon balik selalu terputus. Sampai gue selalu angkat telpon tanpa gue lihat caller idnya. Beberapa kali memang dia lagi yang telpon namun beberapa kali terputus juga, hingga akhirnya gue ternyata menyampaikan pada orang yang salah! Beta bodohnya dirimu bunglooon, kenapa ga curiga dari awal, toh kanal suaranya begitu jernih ga putus-putus.

Seperti biasa sudah bisa ditebak, tuduhan-tuduhan ga jelas dari orang tersebut mulai mengalirlah, dengan pola pikir yang cukup aneh, entah disengaja atau memang untuk memberi nasehat dengan cara penyampaian yang salah. Dan entah kenapa setiap gue tulis sms atau e-mail beliau selalu menafsirkan dengan cara yang salah. Selalu begitu, dia pikir gue adalah orang paling idiot, jahat, brengsek, dan licik yang pernah ada di muka bumi ini.

Yah terserah kalian saja, ingin menilai bagaimana... Gue sekarang terus terang kembali kehilangan arah, tanpa pemandu yang jelas ibarat lagi ngesot dan merangkak-rangkak sampai berdarah-darah dengan penuh kekecewaan. Terutama kecewa terhadap semua perkataan yang tidak ada realisasinya, dan ketika disindir malah menafsirkan lain, hanya untuk menghakimi bahwa gue seorang penjahat.

Jawabannya adalah iya,
Iya gue seorang penjahat, ya gue penjahat.
Gue penjahat karena gue selalu ngebebanin temen gue untuk berkeluh kesah tanpa pernah berpikir apakah mereka juga memiliki masalah atau tidak.
Ya, gue seorang penjahat, karena gue nyuruh orang yang udah tobat, untuk kembali membunuh (walaupun gue cuma minta untuk ngebunuh gue).
Ya, gue seorang penjahat, karena gue ga pernah berbohong sama orang hanya demi membahagiakan mereka sesaat.
Ya, gue penjahat, karena gue berharap orang yang dulu pernah sayang gue, kembali menyayangi gue dengan sepenuh hati tanpa pamrih...
Ya, gue seorang penjahat kalo ternyata ketika gue memutuskan untuk benar-benar bunuh diri, ada yang kehilangan gue, sehingga gue membuat orang kecewa.

Tetapi tidak, gue bukan penjahat, kalo ketika gue bunuh diri tidak ada yang tersakiti, hanya ada orang-orang yang berbahagia karena terlepas dari beban dan kewajiban mereka memenuhi janji.

Jika memang itu akhirnya terjadi, biarkanlah tulisan ini jadi sarana gue untuk mohon pamit...

Sabtu, 30 September 2006... kerja di kelompok... tapi ga ada yang datang lagi... emang pada ga niat lulus sementara kerjaan di kantor menumpuk ga sempat ngerjain juga... ya emang hidup gue cuma sampai hari ini kok...

Cheers

Photobucket - Video and Image Hosting

5 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Don't give up ;)

:)>-

2:13 AM  
Blogger coDOT said...

walah :))
iyaaah masih banyak jalan lain menuju ambas kok :D

7:42 PM  
Blogger Endah KR said...

Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat". (Qs. Al-Hijr [15]: 55-56


bunglon kan anak pinter yaaaaa..gak akan tersesat dehhhh Insyaallah

4:53 AM  
Blogger coDOT said...

ehhhhhhhhhh :o:o sumpah baru sekarang gw meratiin isi artikel lo, ternyata bilang "penjahat"... bukan "pejabat" !!

maap gw lagi negative thinking, sorry..

4:14 PM  
Anonymous Anonymous said...

Sisi lemah manusia kadang lebih kuat dari sisi kuatnya. Self-fulfilling prophecy, stigmatization, depresi sosial, atau apalah mungkin terlalu kuat dalam dirinya sehingga dia lupa bahwa kekuatan besar dalam dirinya belum pernah digunakan. Terlalu kuat tekanan dari luar untuk selalu mengeluarkan, menggunakan dan selalu memikirkan sisi lemah dari dirinya.

Bagaimana seseorang bisa memastikan bahwa tidak ada satupun yang kehilangan saat dia "pergi" dari dunia ini? Walau tidak nampak, saya yakin masih banyak orang-orang yang "jauh" yang merasa kehilangan. Namun rasa kehilangan itu pasti akan hilang dengan cepat karena tingkah dari orang yang "pergi" tersebut, tidak menghargai diri sendiri dan tidak menghargai orang lain dengan "pergi" melewati "cara" yang tidak seharusnya.

So live on, life on and go on ;-)

Maaf jadi curhat. Pernah punya pengalaman kehilangan sahabat dekat yang merasa dirinya tidak pernah "berharga" di mata orang lain. Come on what the freak, what the hell he thinking of...

7:39 PM  

Post a Comment

<< Home